Perempuan Penggerak Ekonomi Hutan Gambut
Women Driving the Peat Forest Economy

Desa Gohong sore itu tampak lebih semarak. Tangan-tangan perempuan sibuk memilin rotan, sementara suara tawa kecil mengisi ruangan. Di tempat lain, Desa Buntoi menunjukkan wajah pemberdayaan berbeda. Rak kayu penuh botol madu kelulut hasil budidaya kelompok perempuan. Dua kisah ini bukan semata cerita usaha, melainkan bukti nyata melestarikan hutan dan menjaga gambut dapat berjalan seiring dengan mengerakkan  ekonomi.

Jejak Anyaman Rotan Gohong

“Sejak kecil saya sudah melihat ibu menganyam, tapi dulu hanya untuk kebutuhan rumah,” kata Marlinie, Ketua KUPS Anyaman Rotan Gohong. Marlinie tumbuh dengan keterampilan tradisional, namun tak pernah membayangkan anyaman bisa menjadi penghasilan. Tantangan muncul saat ia mengajak perempuan lain bergabung. Banyak yang ragu, bahkan menganggap hasilnya tak seberapa. Melalui pendampingan KpSHK dan LPHD Gohong, keraguan itu perlahan hilang.

Marlinie, Ketua KUPS Anyaman Rotan Gohong. Sumber foto: KPSHK.

“Sekarang anyaman kami bisa dijual sampai ke kota. Hasilnya membantu sekolah anak-anak,” ucapnya sambil menunjukkan tas rotan buatannya. Anyaman ini tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga mendorong masyarakat untuk menjaga hutan dan mengelola hasil hutan bukan kayu (HHBK), salah satunya rotan agar tetap lestari. Setiap helai rotan yang dianyam adalah bagian dari komitmen melestarikan hutan gambut yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Manisnya Madu Kelulut Buntoi

Berbeda dengan Marlinie, perjalanan Melyasie dimulai dari rasa penasaran pada lebah tanpa sengat. Ia kemudian bergabung dalam KUPS Madu Kelulut Buntoi. “Awalnya saya ragu, apakah madu kelulut bisa jadi usaha? Banyak koloni yang gagal dipelihara,” kenangnya. Namun pelatihan dari program Inisiatif Kahayan Hilir (IKH) membuatnya berani mencoba kembali. Kini madu kelulut Buntoi jadi andalan desa. Lebah kelulut yang hidup bersimbiosis dengan hutan gambut menjadi penjaga ekosistem: membantu penyerbukan, sekaligus menghasilkan madu berkualitas.

Melyasie, KUPS Madu Buntoi. Sumber foto: KPSHK.

“Dulu saya diam saja kalau ada tamu. Sekarang saya bisa menjelaskan madu kami kepada pembeli, bahkan melatih anggota baru,” ujarnya dengan bangga. Dari madu, perempuan desa belajar bahwa menjaga ekosistem gambut bukan hanya kewajiban, melainkan peluang untuk kesejahteraan.

Marlinie dan Melyasie merasakan perubahan besar setelah bergabung di KUPS. Dari keterampilan tradisional hingga usaha baru, perempuan kini memiliki ruang untuk mengelola sumber daya hutan secara bijak sekaligus menopang ekonomi keluarga. “Kami ingin anak-anak nanti tetap melihat hutan dan merasakan manfaatnya. Karena itu kami mengelola dengan bijak,” tutup Marlinie.

Anyaman rotan dan botol madu menjadi simbol, perempuan adalah penggerak ekonomi gambut, menghubungkan kelestarian hutan gambut dengan masa depan yang lebih sejahtera.

Penulis: Alma

That afternoon, Gohong Village seemed more lively. Women’s hands were busy twisting rattan, while soft laughter filled the room. Elsewhere, Buntoi Village displayed a different face of empowerment. Wooden shelves were filled with bottles of stingless bee honey cultivated by a women’s group. These two stories were not merely stories of business, but concrete evidence that preserving forests and protecting peatlands could go hand in hand with stimulating the economy.

 

The Traces of Gohong Rattan Weaving
“Since I was little, I’ve watched my mother weave, but at that time it was only for household needs,” said Marlinie, Chairperson of the Gohong Rattan Weaving Community (KUPS). Marlinie grew up with traditional skills, but never imagined weaving could generate income. The challenge arose when she invited other women to join her. Many were skeptical, even considering the results to be meager. Through the guidance of the Gohong KpSHK and LPHD, those doubts gradually disappeared.

Marlinie, Chair of the Gohong Rattan Weaving Association. Photo source: KPSHK.

“Now we can sell our weaving in the city. The proceeds help pay for the children’s schooling,” she said, showing off her handmade rattan bags. This weaving not only has economic value, but also encourages the community to protect the forest and manage non-timber forest products (NTFPs), one of which is rattan, for sustainability. Each strand of rattan woven is part of a commitment to preserving the peat forests that are their source of life.

 

The Sweetness of Buntoi Kelulut Honey
Unlike Marlinie, Melyasie’s journey began with a curiosity about stingless bees. She then joined the Buntoi Kelulut Honey KUPS. “At first, I was skeptical, could kelulut honey be a business? Many colonies fail to be maintained,” she recalled. However, training from the Kahayan Hilir Initiative (IKH) program gave her the courage to try again. Now, Buntoi kelulut honey is a mainstay of the village. The kelulut bees, which live in symbiosis with the peat forest, serve as guardians of the ecosystem: helping with pollination and producing quality honey.

Melyasie, KUPS Madu Buntoi. Photo source: KPSHK.

“I used to stay quiet when we had guests. Now I can explain our honey to buyers and even train new members,” she said proudly. From honey, village women have learned that preserving the peat ecosystem is not only an obligation, but also an opportunity for prosperity.

Marlinie and Melyasie have experienced significant changes since joining KUPS. From traditional skills to new businesses, women now have the space to wisely manage forest resources while supporting their families’ finances. “We want our children to see the forest and experience its benefits. That’s why we manage it wisely,” Marlinie concluded. 

 

The rattan weaving and honey bottles symbolize women as drivers of the peatland economy, linking peatland forest sustainability to a more prosperous future.
Author: Alma

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *