Sedang ramai diperbincangkan di sosial media, orang-orang beramai memposting sebuah poster dan tagar terkait “All Eyes on Papua”. Apa permasalahan yang sebenarnya sedang terjadi?
Baru saja kita merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day di tanggal 5 Juni kemarin, yang terfokus pada restorasi lahan, penggurunan, dan ketahanan terhadap kekeringan dengan slogan “Our land. Out future. We are #GenerationRestoration”. Namun tampaknya, perayaan ini sangat bertolak belakang dengan permasalahan yang ada kali ini.
Poster diatas menjadi perhatian khalayak ramai karena sebagai salah satu bentuk keresahan yang terjadi saat ini, yaitu terkait konflik lahan bahwa hutan Papua khususnya di Boven Digoel seluas 36.094 ha, akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari. Hal ini diperkuat dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat adat dari suku Awyu dan Moi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 27 Mei 2024. Dengan menempuh perjalanan selama 48 jam untuk sampai di Jakarta, mereka menyampaikan penolakan atas izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel, Papua Selatan dan Sorong, Papua Barat, dengan diiringi gelaran doa dan ritual adat.
Dilansir dari laman CNN Indonesia, Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit. Mereka tengah berjuang mempertahankan hutan adat mereka.
“Di tempat kami itu ada terancam oleh perusahaan atau investasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal ini pelanggaran HAM, kami ini korban pelanggaran HAM. Ini hak kami, hak mutlak.” ujar Hendrikus Woro, perwakilan masyarakat adat Suku Awyu. Beliau juga menambahkan bahwa permasalahan ini menjadi bentuk dari pengabaian negara terhadap masyarakat adat yang terlihat jelas.
“Kami tidak perlu uang, kami bisa hidup bertahun-tahun di hutan.” ujarnya. Sebenarnya tidak hanya bagi Suku Awyu dan Moi saja, bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan, mereka sejatinya menggantungkan hidup dari alam. Hutan adat yang mereka miliki menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat, serta habitat bagi flora dan fauna endemik sana. Hal ini juga disampaikan oleh Rikarda Maa, selaku perwakilan dari Kelompok Perempuan Awyu yang ikut unjuk rasa, bahwasannya hutan menjadi sumber kehidupannya.
“Saya hidup dari tempat saya, tanah saya, dari alam yang ada disana, hutan saya, itu yang saya hidup dari situ. Saya ingin tanah saya tidak boleh dirampas atau diambil oleh perusahaan.“ ujarnya.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik ini diantaranya terkait kepemilikan tradisional, kepentingan pembangunan daerah, perbedaan persepsi, keterbatasan informasi, keterlibatan pemerintah, partisipasi masyarakat, serta adanya pembatasan hukum. Masyarakat Awyu menganggap bahwa mereka mempunyai hak untuk mengklaim wilayah tersebut yang secara turun temurun sudah dikelola dari generasi sebelumnya, sedangkan perusahaan menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk mengembangkan wilayah tersebut sebagai kepentingan dalam pembangunan daerah (Putri et al. 2024)
Hal ini juga dipicu oleh permasalahan sebelumnya yang pernah terjadi dengan topik yang sama yaitu terkait konflik lahan dan perizinan dari masyarakat setempat. Dikutip dari laman Greenpeace.org, hutan masyarakat Awyu akan dijadikan perkebunan kelapa sawit terbesar oleh perusahaan PT. Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT. Kartika Cipta Pratama (KCP). Dilansir dari Kompas.com, dalam proyek tersebut, tercatat tidak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), adanya pemalsuan tanda tangan pejabat, hingga tidak adanya negosiasi dan persetujuan dari masyarakat lokal. Hal tersebut dapat berpotensi memicu deforestasi besar-besaran. Tidak hanya Suku Awyu yang memperjuakan hak ulayat mereka, suku Moi juga turut serta memperjuangkan hutan adat mereka. Seluas 18.160 ha, hutan mereka juga akan dijadikan sebagai perkebunan sawit oleh PT Sorong Agro Sawitindo (SAS).
Baik dari Suku Awyu maupun Suku Moi, sama-sama melayangkan gugatan kepada pemerintah provinsi, namun gugatan tersebut kandas di tengah jalan. Suku Moi juga sempat mengajukan kembali kasasi ke MA pada 3 Mei 2024. Pemerintah pusat dan daerah memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan, ditambah mereka mempunyai persepsi bahwa hal tersebut dapat mendukung pembangunan ekonomi dan menghasilkan pendapatan. Terlebih, biasanya fokus utama investor kelapa sawit bukan pada nilai kayu, melainkan pada perkembangan lahan berhutan melalui perkebunan (Andrianto et al. 2014).
Maka dari itu, ayo kita bantu saudara setanah air kita yang ada di Papua untuk menyuarakan hak terhadap hutan mereka, seminimal apapun usaha yang bisa kita bantu. Perjuangan dari Suku Awyu dan Moi ini menandakan pentingnya mempertahankan lingkungan hidup demi masa depan dan generasi selanjutnya, serta sebagai bentuk preventif dalam menghadapi permasalahan lingkungan hidup secara global dengan cara melestarikan hutan.
Menjawab kasus di Papua ini, Pemerintah harus mencabut ijin perusahaan sawit dan memberikan pengakuan wilayah adat dan penetapan pada hutan adat untuk mencegah konflik tenurial yang lebih parah.
Penulis: Humaira Nurulakmal
Editor: Alma Tiara
Daftar Pustaka/Sumber:
Andrianto A, Sedik BF, Waridjo H, Komarudin H and Obidzinski K. 2014. The impacts of oil palm plantations on forests and people in Papua: A case study from Boven Digoel District. Working Paper 278. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Putri D, Rahmasari H, Prastya SN, Yuda ZAW, Marizal M. 2024. MENGUAK PERSOALAN HAK ULAYAT SUKU AWYU DENGAN PT INDO ASIANA LESTARI . Causa: Jurnal Hukum Dan Kewarganegaraan, 3(8), 11–20. https://doi.org/10.3783/causa.v3i8.3265
Cuplikan video posting oleh akun X @.machigyu
Add a Comment