Langkah kaki Guna (48 tahun) menyusuri tanah Hutan Desa Buntoi, tak lagi dalam keheningan seorang pemburu, melainkan dengan keyakinan seorang penjaga. Ia dulu hidup dari berburu, mengendap di balik pepohonan, menunggu rusa atau burung yang lengah. Namun sejak 2009, ia menanggalkan senapannya.

Tak lagi ia menggantungkan harapan pada gerak bayangan di antara semak, kini ia bertumpu pada barisan pohon karet yang tumbuh dalam kesetiaan. Pisau sadap menggantikan senapan, ember berisi getah menggantikan hasil buruan. Ia belajar membaca pertanda alam dengan cara berbeda bukan lagi jejak kaki hewan, tetapi alur getah yang menetes perlahan.
Sebagai seorang ayah dari empat anak, Guna memahami bahwa hidup bukan sekadar bertahan, tetapi juga menanam masa depan. Hutan yang dulu menjadi tempatnya mengintai, kini menjadi tanah yang ia rawat dengan sepenuh hati. Dari getah karet yang dikumpulkan, ia membangun atap bagi keluarganya, mengisi piring anak-anaknya, serta menyekolahkan mereka agar tak perlu lagi bergantung pada keacakan nasib seperti dirinya dulu.

Guna bukan lagi pemburu yang hidup dari nyawa yang ia rebut, melainkan penjaga yang memastikan hutan tetap lestari. Langkahnya tak lagi berbisik di antara ranting kering, tetapi bergema sebagai kisah perubahan dari tangan yang dulu merampas, kini menjadi tangan yang merawat. Bukan hanya karena aturan yang melarang perburuan liar di kawasan hutan, tapi juga karena hatinya mulai berbicara. “Sampai kapan aku terus mengambil tanpa memberi? Bukankah hutan ini lebih indah jika dijaga?” Pertanyaan itu terus menggema di benaknya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti berburu dan mulai menjaga.
Seiring berjalannya waktu, hutan Desa Buntoi akhirnya mendapatkan Surat Keputusan (SK) pada 2012. Momen itu semakin mengukuhkan tekadnya. Tidak semua orang bersedia merelakan waktu dan tenaga untuk menjaga hutan. Modal dan dukungan pun menjadi tantangan besar. Tapi bagi Guna, berada di hutan bukan beban, melainkan ketenangan.
“Aku merasa damai saat di hutan. Ada orangutan, rusa, dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Hutan ini terlalu berharga untuk dibiarkan rusak,” ucapnya dengan mata berbinar.
Karena kecintaannya pada hutan, ia tak pernah lelah untuk mengingatkan siapa pun yang berniat merusaknya. Setiap kali ada oknum yang hendak membakar lahan, Guna dengan tegas mengingatkan bahwa tindakan itu akan berujung pada sanksi hukum. Ia sadar, menjaga hutan bukan hanya soal melindungi pepohonan, tapi juga menjaga keseimbangan alam dan masa depan generasi berikutnya.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari para pemburu atau pembakar hutan. Suatu ketika, sekelompok orang datang dengan janji manis.
“Pak Guna, kami bisa berikan kompensasi. Kami hanya butuh sedikit lahan untuk kelapa sawit,” ujar seorang pria berkemeja rapi.
Guna menatapnya tajam. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya ada yang mencoba merayu masyarakat dengan uang demi membuka kebun sawit di hutan Buntoi. Tapi ia tak goyah.
“Hutan ini bukan untuk dijual. Ini milik masyarakat, milik anak cucu kami,” jawabnya tegas.
Berulang kali penawaran datang, dengan jumlah uang yang menggiurkan. Namun, Guna tetap berdiri teguh. Ia sadar, sekali hutan terbakar dan digusur untuk perkebunan, maka keseimbangan alam akan hancur.
Pada 2022, harapan baru muncul. KPSHK hadir mendampingi pengelolaan Hutan Desa Buntoi. Tim patroli semakin kuat, penanaman pohon digencarkan, pencegahan kebakaran hutan semakin masif, dan usaha KUPS mulai dikembangkan. Semua ini menjadi solusi yang telah lama dinantikan.
Kini, Guna semakin yakin bahwa keputusannya selama ini benar.
“Aku pernah berburu, tapi itu masa lalu. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan menjadi penjaga hutan,” katanya penuh keyakinan.
Guna adalah bukti bahwa perubahan itu mungkin. Ia memilih bukan hanya mencintai hutan, tetapi juga melindunginya. Bagi Guna, hutan adalah warisan yang harus tetap hidup, bukan ladang yang bisa dijual.
Penulis : Alma
Editor : JW
Add a Comment